Rabu, 18 Januari 2017

Pencatatan Nikah (Syarat, Prosedur, Akad Nikah, Perjanjian Nikah)

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah memuat tentang syarat dan prosedur dalam pecatatan dan pelaksanaan pernikahan.

Pencatatan Nikah (Syarat, Prosedur, Akad Nikah, Perjanjian Nikah)

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :

  1. Kantor Urusan Agama Kecamatan yang selanjutnya disebut KUA adalah instansi Departemen Agama yang bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama kabupaten/kota di bidang urusan agama Islam dalam wilayah kecamatan.
  2. Kepala Seksi adalah kepala seksi yang ruang lingkup tugasnya meliputi tugas kepenghuluan pada Kantor Departemen Agama kabupaten/kota.
  3. Penghulu adalah pejabat fungsional Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan pengawasan nihah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.
  4. Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah adalah anggota masyarakat tertentu yang diangkat oleh Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota untuk membantu tugas-tugas PPN di desa tertentu.
  5. Pengadilan adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.
  6. Akta nikah adalah akta autentik tentang pencatatan peristiwa perkawinan.
  7. Buku nikah adalah kutipan akta nikah.
  8. Buku Pendaftaran Cerai Talak adalah buku yang digunakan untuk mencatat pendaftaran putusan cerai talak.
  9. Buku Pendaftaran Cerai Gugat adalah buku yang digunakan untuk mencatat pendaftaran putusan cerai gugat.
  10. Akta rujuk adalah akta autentik tentang pencatatan peristiwa rujuk.
  11. Kutipan Buku Pencatatan Rujuk adalah kutipan akta rujuk.
PEGAWAI PENCATAT NIKAH
Pegawai Pencatat Nikah yang selanjutnya disebut PPN adalah pejabat yang melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan. PPN dijabat oleh Kepala KUA. Kepala KUA menandatangani akta nikah, akta rujuk, buku nikah (kutipan akta nikah) dan/atau kutipan akta rujuk.

PPN  dalam melaksanakan tugasnya dapat diwakili oleh Penghulu atau Pembantu PPN. Pembantu PPN pengangangkatan, pemberhentian, dan penetapan wilayah tugasnya dilakukan dengan surat keputusan Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota atas usul Kepala KUA dengan mempertimbangkan rekomendasi Kepala Seksi yang membidangi urusan agama Islam. Pengangkatan, pemberhentian, dan penetapan wilayah tugas Pembantu PPN diberitahukan kepada kepala desa/lurah di wilayah kerjanya. Pelaksanaan tugas Penghulu dan Pembantu PPN dilaksanakan atas mandat yang diberikan oleh PPN.

PEMBERITAHUAN KEHENDAK MENIKAH
Pemberitahuan kehendak menikah disampaikan kepada PPN, di wilayah kecamatan tempat tinggal calon isteri. Pemberitahuan kehendak nikah dilakukan secara tertulis dengan mengisi Formulir Pemberitahuan dan dilengkapi persyaratan sebagai berikut:
  1. surat keterangan untuk nikah dari Kepala Desa /Lurah atau nama lainnya;
  2. kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir, atau surat keterangan asal usul calon mempelai dari kepala desa/lurah atau nama lainnya;
  3. persetujuan kedua calon mempelai;
  4. surat keterangan tentang orang tua (ibu dan ayah) dari kepala desa/pejabat setingkat;
  5. izin tertulis orang tua atau wali bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21 tahun;
  6. izin dari pengadilan, dalam hal kedua orang tua atau walinyatidak ada;
  7. dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai
  8. umur 19 tahun dan bagi calon isteri yang belum mencapai umur 16 tahun;
  9. surat izin dari atasannya/kesatuannya jika calon mempelai anggota TNI/POLRI;
  10. putusan pengadilan berupa izin bagi suami yang hendak beristeri lebih dari seorang;
  11. Kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
  12. Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/isteri dibuat oleh kepala desa/lurah atau pejabat setingkat bagi janda/duda;
  13. Izin untuk menikah dari kedutaan/kantor perwakilan negara bagi warga negara asing.
Dalam hal kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai rusak, tidak terbaca atau hilang, maka harus diganti dengan duplikat yang dikeluarkan oleh Kepala KUA yang bersangkutan. Dalam hal izin kawin berbahasa asing, harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penterjemah Resmi.

PERSETUJUAN DAN DISPENSASI USIA NIKAH

  1. Pernikahan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
  2. Apabila seseorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, harus mendapat izin tertulis kedua orang tua.
  3. Apabila seorang calon suami belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan seorang calon isteri belum mencapai umur 16 (enam belas) tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan.
PEMERIKSAAN NIKAH
Pemeriksaan nikah dilakukan oleh PPN atau petugas terhadap calon suami, calon istri, dan wali nikah mengenai ada atau tidak adanya halangan untuk menikah menurut hukum Islam dan kelengkapan
persyaratan. Hasil pemeriksaan nikah ditulis dalam Berita Acara Pemeriksaan Nikah, ditandatangani oleh PPN atau petugas, calon isteri, calon suami dan wali nikah. Apabila calon suami, calon isteri dan/atau wali nikah tidak dapat membaca/menulis maka penandatanganan dapat diganti dengan cap
jempol tangan kiri.

Pemeriksaan nikah yang dilakukan oleh Pembantu PPN, dibuat 2 (dua) rangkap, helai pertama beserta surat-surat yang diperlukan disampaikan kepada KUA dan helai kedua disimpan oleh petugas pemeriksa yang bersangkutan.

Apabila calon suami, calon isteri dan wali nikah bertempat tinggal di luar wilayah kecamatan tempat pernikahan akan dilangsungkan, pemeriksaan dapat dilakukan oleh PPN di wilayah yang bersangkutan bertempat tinggal. PPN setelah melakukan pemeriksaan calon suami dan wali nikah, wajib mengirimkan hasil pemeriksaan kepada PPN di wilayah tempat pelaksanaan pernikahan. Apabila dari hasil pemeriksaan nikah ternyata terdapat kekurangan persyaratan/ketentuan, maka
PPN harus memberitahukan kepada calon suami dan wali nikah atau wakilnya.

PENOLAKAN KEHENDAK NIKAH
Dalam hal hasil pemeriksaan membuktikan bahwa syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi atau terdapat halangan untuk menikah, maka kehendak perkawinannya ditolak dan tidak dapat dilaksanakan.

PPN memberitahukan penolakan kepada calon suami dan wali nikah disertai alasan-alasan penolakannya. Calon suami atau wali nikah dapat mengajukan keberatan atas penolakan kepada pengadilan setempat. Apabila pengadilan memutuskan atau menetapkan bahwa pernikahan
dapat dilaksanakan, maka PPN diharuskan mengizinkan pernikahan tersebut dilaksanakan.

PENGUMUMAN KEHENDAK NIKAH
Apabila persyaratan pernikahan telah dipenuhi, PPN mengumumkan kehendak nikah. Pengumuman adanya kehendak nikah dilakukan pada tempat tertentu di KUA kecamatan atau di tempat lainnya yang mudah diketahui oleh umum di desa tempat tinggal masing-masing calon mempelai. Pengumuman dilakukan selama 10 (sepuluh) hari.

PENCEGAHAN PERNIKAHAN
Pencegahan pernikahan dapat dilakukan oleh pihak keluarga atau wali atau pengampu atau kuasa dari salah seorang calon mempelai atau orang lain yang memiliki kepentingan, apabila terdapat alasan yang menghalangi dilakukannya pernikahan.Pencegahan pernikahan diajukan ke pengadilan atau kepada PPN di wilayah hukum tempat pernikahan akan dilaksanakan dan kepada masing-masing calon mempelai.

PPN dilarang membantu melaksanakan dan mencatat peristiwa nikah apabila :

  1. persyaratan tidak terpenuhi;
  2. mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan/persyaratan pernikahan.

AKAD NIKAH
Akad Nikah tidak boleh dilaksanakan sebelum masa pengumuman berakhir. Pengecualian terhadap jangka waktu dapat dilakukan karena adanya suatu alasan yang penting, dengan rekomendasi dari camat di wilayah yang bersangkutan.

  1. Akad nikah dilaksanakan dihadapan PPN atau Penghulu atau Pembantu PPN dari wilayah tempat tinggal calon isteri.
  2. Apabila akad nikah akan dilaksanakan diluar ketentuan, maka calon isteri atau walinya harus memberitahukan kepada PPN wilayah tempat tinggal calon isteri untuk mendapatkan surat rekomendasi nikah.
  3. Akad nikah dilakukan oleh wali nasab.

Syarat wali nasab adalah:

  1. laki-laki;
  2. beragama Islam;
  3. baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun;
  4. berakal;
  5. merdeka; dan
  6. dapat berlaku adil.

Untuk melaksanakan pernikahan wali nasab dapat mewakilkan kepada PPN, Penghulu, Pembantu PPN atau orang lain yang memenuhi syarat. Kepala KUA kecamatan ditunjuk menjadi wali hakim, apabila calon isteri tidak mempunyai wali nasab, wali nasabnya tidak memenuhi syarat, berhalangan atau adhal. Adhalnya wali ditetapkan dengan keputusan pengadilan.

Akad nikah harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Saksi harus memenuhi syarat-syarat:

  1. laki-laki;
  2. beragama Islam;
  3. baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun;
  4. berakal;
  5. merdeka; dan
  6. dapat berlaku adil.
PPN, Penghulu dan/atau Pembantu PPN dapat diterima sebagai saksi.

Akad nikah harus dihadiri oleh calon suami. Dalam hal calon suami tidak dapat hadir pada saat akad nikah, dapat diwakilkan kepada orang lain. Persyaratan wakil adalah:
a. memenuhi syarat sebagaimana berikut:

  1. laki-laki;
  2. beragama Islam;
  3. baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun;
  4. berakal;
  5. merdeka; dan
  6. dapat berlaku adil.

b. surat kuasa yang disahkan olen PPN atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia apabila calon suami berada di luar negeri.

Akad Nikah dilaksanakan di KUA. Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA.

Calon suami dan calon istri dapat mengadakan perjanjian perkawinan. Materi perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan hukum Islam dan/atau peraturan perundangundangan.Perjanjian s ditulis di atas kertas bermeterai cukup, ditanda-tangani oleh kedua belah pihak, disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi dan disahkan oleh PPN. Perjanjian dibuat 3 (tiga) rangkap:
a. dua rangkap untuk suami dan isteri; dan
b. satu rangkap disimpan di KUA.

Suami dapat menyatakan sigat taklik. Sigat taklik dianggap sah apabila ditandatangani oleh suami.
Sigat taklik ditetapkan oleh Menteri Agama. Sigat taklik tidak dapat dicabut kembali. Dalam hal suami mewakilkan qabulnya kepada orang lain, pembacaan dan penandatanganan taklik talak oleh suami, dilakukan pada waktu lain dihadapan PPN, Penghulu atau Pembantu PPN tempat akad nikah
dilaksanakan. Dalam hal suami menolak untuk membacakan dan menandatangani sigat talik, istri dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan agar dilakukan sigat talik. Perjanjian perkawinan dan/atau sigat taklik dicatatkan dalam daftar pemeriksaan nikah.

PENCATATAN NIKAH
PPN mencatat peristiwa nikah dalam akta nikah. Akta nikah ditandatangani oleh suami, istri, wali nikah, saksi-saksi dan PPN. Akta nikah dibuat rangkap 2 (dua), masing-masing disimpan di KUA
setempat dan Pengadilan. Setiap peristiwa pernikahan dilaporkan ke kantor administrasi
kependudukan di wilayah tempat pelaksanaan akad nikah. Buku nikah adalah sah apabila ditandatangani oleh PPN. Buku nikah diberikan kepada suami dan istri segera setelah proses akad
nikah selesai dilaksanakan.

PENCATATAN NIKAH WARGANEGARA INDONESIA DI LUAR NEGERI
Pencatatan Nikah bagi warganegara Indonesia yang ada di luar negeri dilakukan sebagaimana diatur dalam Keputusan Bersama Menteri Agama Republik Indonesia dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor 589 Tahun 1999 dan Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri.

PENCATATAN RUJUK
Suami dan isteri yang akan melaksanakan rujuk, memberitahukan kepada PPN secara tertulis dengan dilengkapi akta cerai/talak. PPN atau petugas memeriksa, meneliti dan menilai syarat-syarat rujuk. Suami mengucapkan ikrar rujuk dihadapan PPN atau Penghulu atau Pembantu PPN. PPN mencatat peristiwa rujuk dalam akta rujuk yang ditandatangani oleh suami, istri, saksi-saksi, dan PPN.

Kutipan buku pencatatan rujuk adalah sah apabila ditandatangani oleh Kepala KUA sebagai PPN. Kutipan buku catatan rujuk segera diberikan kepada suami dan istri setelah akta rujuk disahkan. KUA menyampaikan pemberitahuan rujuk kepada pengadilan untuk pengambilan buku nikah.

PENDAFTARAN CERAI TALAK DAN CERAI GUGAT
Berdasarkan salinan penetapan pengadilan, PPN yang mewilayahi tempat tinggal istri berkewajiban mendaftar/mencatat setiap peristiwa perceraian dalam buku pendaftaran cerai talak atau buku pendaftaran cerai gugat dan pada Akta Nikah yang bersangkutan. Daftar atau catatan meliputi tempat
dan tanggal kejadian perceraian serta tanggal dan nomor penetapan/putusan pengadilan. Masing-masing daftar/catatan peristiwa cerai talak dan/atau cerai gugat diketahui/ditandatangani oleh Kepala KUA sebagai PPN.

SARANA
Blangko Pemeriksaan Nikah, Akta Nikah, Buku Nikah, Akta Rujuk, Kutipan Akta Rujuk ditetapkan dengan Keputusan Menteri Agama. Blangko disediakan oleh Departemen Agama dalam hal ini Direktorat yang membidangi urusan agama Islam. Formulir-formulir yang digunakan dalam pendaftaran dan pemeriksaan dalam proses pendaftaran nikah, cerai, talak dan rujuk, selain yang dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Formulir-formulir diadakan oleh kantor wilayah Departemen Agama provinsi.

TATACARA PENULISAN
Pengisian blangko-blangko yang digunakan dalam pendaftaran, pemeriksaan dan pencatatan peristiwa nikah, cerai/talak dan rujuk ditulis dengan dengan huruf balok dan menggunakan tinta hitam. Penulisan dapat dilakukan dengan menggunakan mesin ketik atau komputer.

Perbaikan penulisan dilakukan dengan mencoret kata yang salah dengantidak menghilangkan tulisan salah tersebut, kemudian menulis kembali perbaikannya dengan dibubuhi paraf oleh PPN, dan diberi stempel KUA. Perubahan yang menyangkut biodata suami, isteri ataupun wali harus berdasarkan kepada putusan Pengadilan pada wilayah yang bersangkutan.

PENERBITAN DUPLIKAT
Penerbitan duplikat buku nikah, duplikat kutipan putusan cerai dan duplikat kutipan akta rujuk yang hilang atau rusak, dilakukan oleh PPN berdasarkan surat keterangan kehilangan atau kerusakan dari kepolisian setempat.

PENCATATAN PERUBAHAN STATUS
PPN membuat catatan perubahan status pada buku pendaftaran talak atau cerai apabila orang tersebut telah menikah lagi. Catatan perubahan status meliputi: tempat, tanggal dan nomor buku nikah serta ditandatangani dan dibubuhi tanggal oleh Kepala KUA.

Apabila perceraiannya di daftar di tempat lain, PPN yang melaksanakan pernikahan wajib memberitahukan pernikahan tersebut kepada PPN tempat pendaftaran perceraian. Dalam hal suami beristri lebih dari seorang, PPN membuat catatan dalam akta nikah terdahulu bahwa suami telah menikah lagi. Catatan meliputi: nama, tempat, tanggal dan nomor buku nikah serta dibubuhi tanggal dan ditandatangani oleh Kepala KUA.

Apabila pernikahan dilakukan di tempat yang berbeda, PPN yang melakukan pencatatan nikah wajib memberitahukan peristiwa nikah tersebut kepada PPN tempat terjadinya pernikahan terdahulu.

PENGAMANAN DOKUMEN
Kepala KUA melakukan penyimpanan dokumen pencatatan nikah, talak, cerai dan/atau rujuk. Penyimpanan dilakukan di kantor KUA dengan mempertimbangkan aspek keamanan. Jika terjadi kerusakan atau kehilangan yang disebabkan oleh hal-hal di luar kemampuan manusia seperti kebakaran, banjir, dan huru-hara, maka Kepala KUA melaporkan kejadian tersebut kepada Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota dan kepolisian, yang dituangkan dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh kepala KUA, Kepala Kantor Departemen Agama dan kepolisian setempat.

PENGAWASAN
Kepala KUA kecamatan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Penghulu dan Pembantu PPN. Kepala KUA wajib melaporkan hasil pencatatan nikah, talak/rujuk secara periodik kepada Kepala Kandepag kabupaten/kota Dalam hal-hal tertentu kepala Seksi dapat melakukan pemeriksaan
langsung ke KUA. Hasil pemeriksaan dibuat dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan yang ditandatangani oleh Kepala Seksi dan Kepala KUA yang bersangkutan. Berita Acara Pemeriksaan
dilaporkan kepada Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota dan seterusnya kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama provinsi.

SANKSI
PPN dan Penghulu yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan ini dikenakan sanksi administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembantu PPN yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan ini dapat dikenakan sanksi pemberhentian.

KETENTUAN PENUTUP
Dengan berlakunya Peraturan ini ketentuan mengenai persyaratan, pengawasan dan pencatatan nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004 dinyatakan tidak berlaku.

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan:
Download Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah

Selasa, 17 Januari 2017

Perkawinan (Syarat, Perjanjian Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami Isteri)


Peraturan ini berisi tentang: Dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri, perwalian.


LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA


No. 1, 1974(Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:    
bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara;

Mengingat:    

  1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973;

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:  UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.

BAB I
DASAR PERKAWINAN

Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.

Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.

Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 11
(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12
Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

BAB III
PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal l3
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 15
Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 16
(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
(2) Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 17
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.

Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.

Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal 21
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

BAB IV
BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 25
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.

Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

BAB V
PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Pasal 32
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.

Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.

BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

BAB VIII
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA

Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena:
a. kematian,
b. perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan.

Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3) Tatacara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

BAB IX
KEDUDUKAN ANAK

Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 44
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. la berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

BAB XI
PERWALIAN

Pasal 50
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

Pasal 51
(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
(3) Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
(5) Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

Pasal 52
Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini.

Pasal 53
(1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini.
(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

BAB XII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Bagian Pertama
Pembuktian asal-usul anak

Pasal 55
(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Bagian Kedua
Perkawinan di luar Indonesia

Pasal 56
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Bagian Ketiga
Perkawinan Campuran

Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.

Pasal 59
(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.
(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini.

Pasal 60
(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).
(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

Pasal 61
(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
(2) Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.

Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.

Bagian Keempat
Pengadilan

Pasal 63
(1) Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah:
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;
b. Pengadilan Umum bagi lainnya.
(2) Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.

Pasal 65
(1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut:
a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;
b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 67
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO
JENDERAL TNI.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, SH.
MAYOR JENDERAL TNI.


TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI

No. 3019(Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1)

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR I TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN

PENJELASAN UMUM

1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.

2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah seperti berikut:
a. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresiplir dalam Hukum Adat;
b. bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;
c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijksordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);
d. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;
e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka;
f. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini disatu fihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan dilain fihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.

4. Dalam Undang-undang ini ditentukan Prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkayanan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-undang ini adalah sebagai berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, aear masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil.
b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih di bawah umur.
Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.
Berhubung dengan itu, maka Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi, wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.
f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.

5. Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah.

Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, di mana Sila yang pertamanya ialah ke Tuhanan Yang Mahaesa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Pasal 2
Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

Pasal 3
(1) Undang-undang ini menganut asas monogami.
(2) Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami.

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6

(1) Oleh karena perkawinan mempuryai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang ini.
(2) Cukup jelas.
(3) Cukup jelas.
(4) Cukup jelas.
(5) Cukup jelas.
(6) Cukup jelas.

Pasal 7

(1) Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.
(2) Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku.
(3) Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

Pasal 11
Cukup jelas

Senin, 16 Januari 2017

Bantuan Hukum di Lingkungan Kementerian Pertahanan (termasuk Nikah, Talak, Rujuk)

Bantuan Hukum (termasuk Nikah, Talak, Rujuk) mencakup Bantuan Hukum kepada Pejabat, Pegawai, Pensiunan Pegawai beserta keluarga, dan Yayasan yang menghadapi masalah hukum.

Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai pedoman pelaksanaan Bantuan Hukum di lingkungan Kementerian dengan tujuan agar penanganan Bantuan Hukum dilakukan secara maksimal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bantuan Hukum kepada Yayasan diberikan kepada Pengurus Yayasan. Selain Bantuan Hukum termasuk Bantuan Hukum berdasarkan perintah pimpinan.
  1. Pejabat dan/atau pegawai dapat menggunakan jasa advokat.
  2. Advokat dapat meminta pendampingan kepada Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kemhan untuk keperluan persidangan di pengadilan.
Masalah hukum meliputi perkara:
  1. Perdata;
  2. Kepailitan;
  3. Pidana;
  4. Tata Usaha Negara;
  5. Pidana Militer; dan
  6. Nikah, Talak, Rujuk.
Selain perkara termasuk perkara uji materiil di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Prosedur Bantuan Hukum dilaksanakan sebagai berikut:
  1. Kepala Satuan Kerja Kementerian/Pimpinan dapat memerintahkan langsung kepada Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kemhan;
  2. permohonan Bantuan Hukum oleh pegawai Kemhan diajukan kepada Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kemhan dengan melampirkan Surat Keputusan Pensiun apabila pegawai yang bersangkutan telah pensiun; dan
  3. permohonan Bantuan Hukum oleh Pengurus Yayasan diajukan kepada Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kemhan.
Dalam hal terdapat permohonan hak uji materiil di Mahkamah Agung, Menteri menunjuk Kepala Satuan Kerja/Kepala Subsatuan Kerja Kemhan yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan permohonan hak uji materiil untuk menerima kuasa dan menghadiri persidangan di Mahkamah Agung berdasarkan surat pemberitahuan perkara dari Ketua Mahkamah Agung.

Dalam hal terdapat permohonan hak uji materiil terhadap Undang-Undang yang berkaitan dengan bidang pertahanan di Mahkamah Konstitusi, Menteri menjadi kuasa Presiden untuk menghadiri
persidangan di Mahkamah Konstitusi.

Menteri sebagaimana dapat menunjuk Pejabat Eselon I/setingkat dan Pejabat Eselon II yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan Undang-Undang yang menjadi obyek permohonan uji materiil, untuk menerima Kuasa Substitusi dan menghadiri persidangan di Mahkamah Konstitusi.

Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kemhan menyiapkan kelengkapan administrasi, mengkordinasikan penyusunan keterangan dan/atau jawaban Pemerintah dan menghadiri persidangan di Mahkamah Konstitusi.

Biaya pelaksanaan kegiatan Bantuan Hukum untuk:
  1. kepentingan dinas dibebankan kepada Anggaran Pendapat Belanja Negara (APBN) Kemhan dengan berpedoman pada Standart Biaya Khusus (SBK) Bidang Hukum yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
  2. kepentingan pribadi/perorangan dibebankan kepada Pemohon.
Biaya untuk penanganan Bantuan Hukum dalam perkara:
  1. Perdata;
  2. Kepailitan;
  3. Pidana;
  4. Tata Usaha Negara;
  5. Pidana Militer;
  6. Nikah, Talak, Rujuk; dan
  7. Uji Materiil di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Penggunaan jasa advokat pembiayaannya dibebankan kepada Pejabat dan/atau Pegawai yang
bersangkutan.

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku penanganan perkara Bantuan Hukum yang sedang berlangsung tetap dilanjutkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor : SKEP/168/III/2004 tanggal 18 Maret 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Hukum di lingkungan Departemen Pertahanan sampai memperoleh keputusan yang berkekuatan hukum tetap.

Pelaksanaan Peraturan Menteri ini akan diatur lebih lanjut dengan Petunjuk Pelaksanaan. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Surat Keputusan Menteri Pertahanan Nomor : KEP/168/III/2004 tanggal 18 Maret 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Hukum di lingkungan Departemen
Pertahanan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia:

Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2012 tentang Bantuan Hukum di Lingkungan Kementerian Pertahanan (termasuk Nikah, Talak, Rujuk)

Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2012 tentang Bantuan Hukum di Lingkungan Kementerian Pertahanan.

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Bantuan Hukum adalah kegiatan yang dilaksanakan baik di pengadilan (litigasi) maupun nasihat hukum di luar pengadilan (non litigasi) bertindak selaku kuasa, mewakili, mendampingi, membela, atau melakukan tindakan hukum lainnya untuk kepentingan dinas dan di luar kepentingan dinas.
  2. Pengadilan adalah lembaga peradilan yang berwenang untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan oleh seorang atau badan hukum baik di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, maupun Peradilan Tata Usaha Negara.
  3. Kepentingan dinas adalah kepentingan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi pejabat.
  4. Pejabat adalah pegawai Kementerian Pertahanan yang diangkat dalam jabatan stuktural di lingkungan Kementerian Pertahanan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
  5. Pegawai Kementerian Pertahanan adalah Pegawai Negeri Sipil dan Prajurit TNI yang ditugaskan di Kementerian Pertahanan.
  6. Surat Kuasa Khusus adalah surat kuasa bermaterai cukup yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa khusus untuk menangani perkara di Pengadilan atau di luar Pengadilan.
  7. Keluarga adalah istri, suami, anak dan orang tua.
  8. Anak adalah anak kandung, anak tiri atau anak angkat yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
  9. Orang tua adalah bapak dan ibu kandung atau tiri serta mertua.
  10. Yayasan adalah Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan yang selanjutnya disingkat YKPP dan Yayasan Kencana Lestari yang selanjutnya disingkat YKL.
  11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan.
  12. Kementerian Pertahanan yang selanjutnya disebut Kemhan adalah unsur pelaksana fungsi pemerintah di bidang pertahanan.

Minggu, 15 Januari 2017

Syarat Penerbitan Paspor Calon Tenaga Kerja Indonesia (Akta Perkawinan / Buku Nikah)

Akta Perkawinan atau Buku Nikah (atau akta kelahiran, surat baptis, ijazah) merupakan salah satu syarat Penerbitan Paspor Calon Tenaga Kerja Indonesia.

Pengajuan permohonan paspor dilampiri dengan:
  1. kartu tanda penduduk;
  2. kartu keluarga;
  3. akta kelahiran, akta perkawinan atau buku nikah, surat baptis, atau ijazah;
  4. surat rekomendasi permohonan paspor calon tenaga kerja Indonesia yang diterbitkan oleh Dinas Tenaga Kerja provinsi atau kabupaten/kota; dan
  5. paspor lama, bagi yang telah memiliki paspor.
Dalam hal dilakukan penggantian paspor, permohonan dilampiri dengan:
  1. kartu tanda penduduk;
  2. kartu keluarga
  3. surat rekomendasi permohonan paspor calon tenaga kerja Indonesia yang diterbitkan oleh Dinas Tenaga Kerja provinsi atau kabupaten/kota; dan
  4. paspor lama.
Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia diterbitkan paspor biasa 24 (dua puluh empat) halaman atau 48 (empat puluh delapan) halaman.
  1. Permohonan paspor biasa bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia dapat diajukan secara elektronik atau nonelektronik.
  2. Permohonan paspor biasa diajukan kepada Kepala Kantor Imigrasi yang masih berada dalam provinsi yang sama dengan domisili yang bersangkutan.
  3. Pengajuan permohonan paspor dapat dilakukan secara perorangan atau kolektif melalui perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia.
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
  1. Calon Tenaga Kerja Indonesia adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi Pemerintah provinsi atau kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
  2. Kantor Imigrasi adalah unit pelaksana teknis yang menjalankan fungsi keimigrasian di daerah kabupaten, kota, atau kecamatan.
Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia yang mengajukan permohonan penggantian paspor hilang yang telah habis masa berlakunya selain memenuhi persyaratan juga dikenakan persyaratan tambahan berupa surat kehilangan dari kantor Kepolisian Republik Indonesia.

Terhadap permohonan penggantian paspor hilang yang telah habis masa berlakunya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan proses pemeriksaan dalam berita acara pemeriksaan dan dapat diberikan penggantian paspor atas persetujuan Kepala Kantor Imigrasi.

Dalam hal permohonan penggantian paspor hilang yang masih berlaku, dilakukan proses pemeriksaan dalam berita acara pemeriksaan dan dikirimkan kepada Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia u.p. Kepala Divisi Keimigrasian untuk mendapatkan persetujuan penggantian paspor.

Penerbitan paspor bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia dikenakan biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-1005.IZ.03.02 Tahun 2011 tentang Pelayanan Penerbitan Paspor bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia Tujuan Timur Tengah pada Subdirektorat Surat Perjalanan Khusus Tenaga Kerja Indonesia Direktorat Dokumen Perjalanan, Visa dan Fasilitas Keimigrasian, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 09 Tahun 2012 tentang Penerbitan Paspor Biasa bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia



Sabtu, 14 Januari 2017

Pembuatan Akte Nikah Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai

Pembuatan akte nikah adalah salah satu dari jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Pemerintah adalah unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria sebagai bukan subjek pajak dalam negeri.

Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum merupakan jasa sehubungan dengan kegiatan pelayanan yang hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah sesuai kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan jasa tersebut tidak dapat disediakan oleh bentuk usaha lain.

Termasuk dalam pengertian jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam menjalankan pemerintahan secara umum adalah pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, pembuatan Kartu Tanda Penduduk, pemberian Hak Paten, pemberian Merek, pemberian Hak Cipta, pembuatan akte kelahiran, pembuatan akte nikah, dan pemberian Visa.

Dalam hal Pemerintah melakukan penyerahan jasa selain jasa atas penyerahan jasa tersebut dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai peraturan perundangundangan.

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Download Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 82/PMK.03/2012 tentang Kriteria dan/atau Rincian Jasa yang Disediakan oleh Pemerintah dalam Rangka Menjalankan Pemerintahan Secara Umum yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Kriteria dan/atau Rincian Jasa yang Disediakan oleh Pemerintah dalam Rangka Menjalankan Pemerintahan Secara Umum yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai

Menimbang : 
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Kriteria dan/atau Rincian Jasa yang Disediakan Oleh Pemerintah Dalam Rangka Menjalankan Pemerintahan Secara Umum yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai;

Mengingat:
  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5271);
  4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

Jumat, 13 Januari 2017

Administrasi Kependudukan (Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk) di KUA

Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, adalah satuan kerja yang melaksanakan pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk pada tingkat kecamatan bagi Penduduk yang beragama Islam.

Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain.

Data Kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang terstruktur sebagai hasil dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Data Kependudukan terdiri atas data perseorangan dan/atau data agregat Penduduk. Data perseorangan meliputi:
  1. nomor KK;
  2. NIK;
  3. nama lengkap;
  4. jenis kelamin;
  5. tempat lahir;
  6. tanggal/bulan/tahun lahir;
  7. golongan darah;
  8. agama/kepercayaan;
  9. status perkawinan;
  10. status hubungan dalam keluarga;
  11. cacat fisik dan/atau mental;
  12. pendidikan terakhir;
  13. jenis pekerjaan;
  14. NIK ibu kandung;
  15. nama ibu kandung;
  16. NIK ayah;
  17. nama ayah;
  18. alamat sebelumnya;
  19. alamat sekarang;
  20. kepemilikan akta kelahiran/surat kenal lahir;
  21. nomor akta kelahiran/nomor surat kenal lahir;
  22. kepemilikan akta perkawinan/buku nikah;
  23. nomor akta perkawinan/buku nikah;
  24. tanggal perkawinan;
  25. kepemilikan akta perceraian;
  26. nomor akta perceraian/surat cerai;
  27. tanggal perceraian;
  28. sidik jari;
  29. iris mata;
  30. tanda tangan; dan
  31. elemen data lainnya yang merupakan aib seseorang.
Data Kependudukan antara lain untuk pemanfaatan:
  1. pelayanan publik;
  2. perencanaan pembangunan;
  3. alokasi anggaran;
  4. pembangunan demokrasi; dan
  5. penegakan hukum dan pencegahan kriminal.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (Pernikahan)


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
  2. Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undangundang sebagai Warga Negara Indonesia.
  3. Orang Asing adalah orang bukan Warga Negara Indonesia.
  4. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dalam negeri.
  5. Penyelenggara adalah Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang dalam urusan Administrasi Kependudukan.
  6. Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan.
  7. Dokumen Kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
  8. Pendaftaran Penduduk adalah pencatatan biodata Penduduk, pencatatan atas pelaporan Peristiwa Kependudukan dan pendataan Penduduk rentan Administrasi Kependudukan serta penerbitan Dokumen Kependudukan berupa kartu identitas atau surat keterangan kependudukan.
  9. Peristiwa Kependudukan adalah kejadian yang dialami Penduduk yang harus dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap.
  10. Nomor Induk Kependudukan, selanjutnya disingkat NIK, adalah nomor identitas Penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia.
  11. Kartu Keluarga, selanjutnya disingkat KK, adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga.
  12. Kartu Tanda Penduduk Elektronik, selanjutnya disingkat KTP-el, adalah Kartu Tanda Penduduk yang dilengkapi cip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana.
  13. Pencatatan Sipil adalah pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana.
  14. Pejabat Pencatatan Sipil adalah pejabat yang melakukan pencatatan Peristiwa Penting yang dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang pengangkatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
  15. Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.
  16. Izin Tinggal Terbatas adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang Asing untuk tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu yang terbatas sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
  17. Izin Tinggal Tetap adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang Asing untuk tinggal menetap di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
  18. Petugas Registrasi adalah pegawai yang diberi tugas dan tanggung jawab memberikan pelayanan pelaporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting serta pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan di desa/kelurahan atau nama lainnya.
  19. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, selanjutnya disingkat SIAK, adalah sistem informasi yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan di tingkat Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sebagai satu kesatuan.
  20. Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.
  21. Unit Pelaksana Teknis Instansi Pelaksana, selanjutnya disebut UPT Instansi Pelaksana, adalah satuan kerja di tingkat kecamatan yang bertanggung jawab kepada Instansi Pelaksana.

Kamis, 12 Januari 2017

KUA: Pelayanan, Pencatatan, Pelaporan Nikah dan Rujuk

Kantor Urusan Agama yang selanjutnya disingkat KUA adalah Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam yang bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota di bidang urusan agama Islam. KUA berkedudukan di wilayah kecamatan.

Dalam melaksanakan tugas KUA menyelenggarakan fungsi:
  1. pelaksanaan pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan pelaporan nikah dan rujuk;
  2. penyusunan statistik, dokumentasi dan pengelolaan sistem informasi manajemen KUA;
  3. pelaksanaan tata usaha dan rumah tangga KUA;
  4. pelayanan bimbingan keluarga sakinah;
  5. pelayanan bimbingan kemasjidan;
  6. pelayanan bimbingan pembinaan syariah; serta
  7. penyelenggaraan fungsi lain di bidang agama Islam yang ditugaskan oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama (KUA) Pelayanan, Pencatatan, Pelaporan Nikah dan Rujuk

Download Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama.

Organisasi KUA:
  1. KUA dipimpin oleh seorang kepala.
  2. Kepala KUA bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.
  3. Kepala KUA merupakan jabatan struktural eselon IVb.
Kepala KUA mempunyai tugas memimpin, mengorganisasikan, melaksanakan dan melaporkan pelaksanaan tugas dan fungsi KUA kepada kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.

Dalam pelaksanaan tugas Kepala KUA dibantu oleh pejabat fungsional khusus dan umum. Pejabat fungsional khusus merupakan jabatan fungsional penghulu dan jabatan fungsional lain yang dibutuhkan oleh KUA sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Pejabat fungsional umum merupakan jabatan pelaksana yang membidangi pelayanan administrasi dan kerumah tanggaan KUA.

Kepala KUA dalam melaksanakan tugas dan fungsinya wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik dalam lingkungan KUA maupun dalam hubungan antar pemerintah baik pusat maupun daerah.

Kepala KUA bertanggung jawab untuk memimpin, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan pelaksanaan tugas bawahan. Kepala KUA wajib menyusun dan mengembangkan kebijakan, program,
serta kegiatan berdasarkan rencana strategis yang telah ditetapkan dengan menerapkan asas pemerintahan yang efektif, efisien, bersih, dan akuntabel.

Kepala KUA wajib mengembangkan tata hubungan dan membangun kerjasama dengan pemerintah daerah dan unit kerja lain yang terkait. Kepala KUA wajib menyelenggarakan administrasi keuangan, akuntansi, dan pelaporan keuangan dan kinerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kepala KUA wajib melaksanakan pengawasan melekat, penilaian kinerja, mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tugasnya kepada atasan masing-masing secara berjenjang dan berkala.

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Agama ini ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan tugas KUA dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diatur dalam ketentuan lain yang dibuat berdasarkan Peraturan Menteri Agama ini.

Peraturan Menteri Agama ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Menimbang :
  1. bahwa untuk mengoptimalkan pemenuhan kuota haji secara nasional dan mengantisipasi tidak terpenuhinya kuota haji setiap musim haji pada akhir masa pelunasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, perlu mengatur pengisian sisa Kuota Haji secara nasional;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Agama tentang Pengisian Sisa Kuota Haji Nasional;